- Back to Home »
- -c , Pengetahuan »
- [Encouragement] Pembelajaran di Indonesia?
Gambar ini hanya ilustrasi, Sumber dari Facebook
Oke selamat pagi. Kali ini saya bakal re-post sebuah encouragement dari seorang Guru Besar di Universitas UI, Prof. Rhenald Kasali, Ph.D. Ya, encouragement ini membahas tentang pembelajaran di Indonesia dan di Luar Negri. Mungkin, sudah banyak dari kalian yang membaca ini. Tapi, saya tidak akan bosan membagikan informasi yang menurut saya berguna kapanpun itu. Oke, kita lihat saja dibawah ini
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya
seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna,
hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai
belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah
ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang
terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya
karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan
diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi
nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja
sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.
“Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya.Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup
saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun
masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai
berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu
dari Indonesia yang anakanaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri
Anda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini
bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju.
Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk
anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa
Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya
menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi
itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi
orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya
menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master
hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi
jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap
menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan
mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus
benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang
penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan
ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka
menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan
seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji,
menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh
keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya
sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut
“menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan
pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita
tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya
sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para
dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya
pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya
tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya
temukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana
guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah
anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat,
bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar
secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang
membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu
guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita
dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh
kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang
ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun
Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya
mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya
ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian
yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang
berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”.
Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan
hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang
dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin
batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,
sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu
kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan
berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita
menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan
inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak
ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat
mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat
tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari
orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat
tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada
orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah
bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan
menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan
dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.(*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Oke, sekian dari saya. Maaf jika ada disalah kata mohon dimaafkan. Selamat pagi dan selamat beraktifitas ^^